Sekilas Tentang Sejarah Arung Palakka Pahlawan Dari Bone
Sabtu, 30 Maret 2013
Edit
 
Sabtu, 30 Maret 2013
Konten [Tampil]
 
 Arung Palakka bergelar La Tan-ri Tatta To' Urong To-ri Sompi Patta Malampei Gammana Daeng Serang To' Appatunru Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din, mengacu pada ejaan huruf lontara. Adapun pelafalan yang tepat adalah La Tenritatta To Ureng To-ri SompaE Petta MalampeE Gemme'na Daeng Serang To' Appatunru Paduka Sultan Sa'adduddin.
Arung Palakka (lahir di Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng, 15 September 1634 – meninggal di Bontoala, 6 April 1696 pada umur 61 tahun) adalah Sultan Bone yang menjabat pada tahun 1672-1696. Saat masih berkedudukan sebagai pangeran, ia memimpin kerajaannya meraih kemerdekaan dari Kesultanan Gowa pada tahun 1666. Ia bekerja sama dengan Belanda saat merebut Makassar. Palakka pula yang menjadikan suku Bugis sebagai kekuatan maritim besar yang bekerja sama dengan Belanda dan mendominasi kawasan tersebut selama hampir seabad lamanya.
Arung Palakka La Tenri tatta lahir di Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng,  pada tanggal 15 September 1634 sebagai anak dari pasangan La  Pottobunna, Arung Tana Tengnga, dan istrinya, We Tenri Suwi, Datu  Mario-ri Wawo, anak dari La Tenri Ruwa Paduka Sri Sultan Adam, Arumpone  Bone.
Arung Palakka meninggal di Bontoala, Kesultanan Gowa, pada tanggal 6 April 1696 dan dimakamkan di Bontobiraeng.
Arung Palakka pertama kali menikah dengan Arung Kaju namun akhirnya mereka bercerai. Selanjutnya, ia menikah dengan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa pada tanggal 16 Maret 1668, sebelumnya istri dari Karaeng Bontomaronu dan Karaeng Karunrung Abdul Hamid. Pernikahan ini pun tidak bertahan lama dan keduanya bercerai pada tanggal 26 Januari 1671. Untuk ketiga kalinya, ia menikahi We Tan-ri Pau Adda Sange Datu-ri Watu, Datu Soppeng, di Soppeng pada tanggal 20 Juli 1673.  Istri ketiganya ini adalah putri dari La Tan-ri Bali Beowe II, Datu  Soppeng, dan sebelumnya menjadi istri La Suni, Adatuwang Sidenreng.  Pernikahannya yang keempat dilaksanakan pada tanggal 14 September 1684  dengan Daeng Marannu, Karaeng Laikang, putri dari Pekampi Daeng  Mangempa Karaeng Bontomaronu, Gowa, dan sebelumnya adalah istri dari Karaeng Bontomanompo Muhammad.
Persekutuan dengan VOC
Arung Palakka adalah seorang jagoan yang ditakuti di seantero  Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini  memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar di Batavia.  Keperkasaan seakan dititahkan untuk selalu bersemayam bersamanya. Pria  Bugis Bone dengan badik yang sanggup memburai usus ini sudah malang  melintang di Batavia sejak tahun 1660-an, ketika ia bersama pengikutnya  melarikan diri dari cengkeraman & keperkasaan Sultan Hasanuddin.
Batavia di abad ke-17 adalah arena di mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Di masa Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker,  kekerasan adalah udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem  kolonial. Kekerasan adalah satu-satunya mekanisme untuk menciptakan  ketundukan pada bangsa yang harus dihardik dulu agar taat dan siap  menjadi sekrup kecil dari pasang naik kolonialisme Eropa. Kekerasan itu  seakan meneguhkan apa yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes bahwa manusia  pada dasarnya jahat dan laksana srigala yang saling memangsa sesamanya.  Pada titik inilah Arung Palakka menjadi seorang perkasa bagi sesamanya.
Nama Arung Palakka terdapat pada sebuah Arsip Nasional Republik  Indonesia (ANRI), berisikan data sejarah tentang Batavia pada masa silam  dengan sejarah yang kelam. Berbagai referensi itu menyimpan sekelumit  kisah tentang pria yang patungnya dipahat dan berdiri gagah di tengah  Kota Watampone.
Arung Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat  yang menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari bangsanya, suku  Bugis Bone yang kebebasannya terpasung. Namun, ia bebas sebebas merpati  yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang  terasing dari bangsanya. Malang melintang di kota sebesar Batavia,  keperkasaannya kian membuncah tatkala ia membangun persekutuan yang  menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya yaitu pria Belanda bernama  Cornelis Janszoon Speelman dan seorang Ambon yang juga perkasa bernama Kapiten Jonker.  Ketiganya membangun persekutuan rahasia dan memegang kendali atas VOC  pada masanya, termasuk monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.
Ketiga tokoh yang teralienasi ini adalah horor bagi jagoan pada masa  itu. Speelman adalah petinggi VOC yang jauh dari pergaulan VOC. Dia  tersisih dari pergaulan karena terbukti terlibat dalam sebuah  perdagangan gelap saat masih menjabat sebagai Gubernur VOC di Coromandel  tahun 1665. Arung Palakka adalah pangeran Bone yang hidup terjajah dan  dalam tawanan Kerajaan Gowa.  Ia memberontak dan bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia. VOC  menyambutnya dengan baik dan memberikan daerah di pinggiran Kali Angke,  hingga serdadu Bone ini disebut To Angke atau orang Angke. Sedang  Kapiten Jonker adalah seorang panglima yang berasal dari Pulau Manipa,  Ambon. Dia punya banyak pengikut setia, namun tidak pernah menguasai  satu daerah di mana orang mengakuinya sebagai daulat. Akhirnya dia  bergabung dengan VOC di Batavia. Rumah dan tanah luas di daerah Marunda  dekat Cilincing diberikan VOC kepadanya.
Baik Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker sama-sama berangkat  dari hal yang sama yaitu keterasingan. Ketiganya punya sejarah  penaklukan yang membuat nama mereka menjadi legenda. Speelman menjadi  legenda karena berhasil membuat Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar  dalam sebuah perlawanan paling dahsyat dalam sejarah peperangan yang  pernah dialami VOC. Bersama Arung Palakka, Speelman menghancurkan  Benteng Sombaopu setelah terjadinya Perjanjian Bongaya  yang menjadi momok bagi VOC serta rintangan (barikade) untuk menguasai  Indonesia timur, khususnya jalur rempah- rempah Maluku, pada tanggal 18 November 1667.
Arung Palakka sangat populer sebab berhasil menaklukan Sumatra dan membumihanguskan perlawanan rakyat Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan dua sisi diametral, di satu sisi  hendak membebaskan Bone, namun di sisi lain justru menaklukan daerah  lain di Nusantara. Kisahnya berawal pada tahun 1662, dibuat perjanjian  antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang. Perjanjian yang  kemudian di sebut Perjanjian Painan itu bertujuan untuk monopoli  dagang di pesisir Sumatera, termasuk monopoli emas Salido. Sayang,  rakyat Minang mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan perwakilan VOC di  Padang bernama Jacob Gruys. Arung Palakka kemudian dikirim ke Minangkabau dalam ekspedisi yang dinamakan Ekspedisi Verspreet.  Bersama pasukan Bone, ia berhasil meredam dan mematikan perlawanan  rakyat Minangkabau hingga menaklukan seluruh pantai barat Sumatera,  termasuk memutus hubungan Minangkabau dengan Aceh. Kekuasaan VOC  diperluas hingga Ulakan di Pariaman. Di tempat inilah, Arung Palakka diangkat sebagai Raja Ulakan.
Sedang Kapiten Jonker punya reputasi menangkap Trunojoyo dan diserahkan pada pegawai keturunan VOC keturunan Skotlandia, Jacob Couper.  Tiga tokoh yaitu Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker telah  menaklukan Nusantara di Barat, Tengah, dan Timur. Mereka punya andil  besar untuk mengantarkan VOC pada puncak kejayaannya pada masa Gubernur  Jenderal Joan Maetsuyker. Tidak heran kalau ketiga tokoh ini  menjadi tulang punggung kekuatan VOC pada masa itu. Maetsueyker tidak  berani menolak permintaan ketiganya sebab mereka punya bala tentara yang  besar. Di luar ketiganya, ia hanya mengandalkan serdadu bayaran  multibangsa dengan loyalitas yang rendah. Akibat kekuasaan yang besar  serta penguasaan monopoli emas ini, Speelman berhasil menjadi Gubernur  Jenderal VOC pada tahun 1681.
Sayangnya, kisah menakjubkan dari tiga jagoan Batavia ini harus  berakhir dalam waktu yang tidak lama. Musuh Speelman yaitu perwira asal  Perancis bernama Isaac declornay de Saint Martin langsung  bergerak. Komandan perang yang memenangkan peperangan di Cochin,  Colombo, Ternate, Buton, Jawa Timur, dan Jawa Barat ini, berhasil  mengungkap semua korupsi dan keculasan Speelman hingga akhirnya Speelman  disingkirkan dari posisi Gubernur Jenderal. Isaac juga berhasil  memengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan Kapiten  Jonker. Wilayah kekuasaan pria Ambon ini di Pejonkeran Marunda dikepung,  kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh dalam penyerbuan itu,  kepalanya dipancung dan dipertontonkan. Pengikutnya dibunuh dan  keluarganya diasingkan ke Colombo dan Afrika.
Arumpone Bone
Menggantikan ibunya sebagai Datu Mario-ri Wawo ke-15. Mendapat gelar Arung Palakka sebagai hadiah membebaskan rakyatnya dari penjajahan Makassar. Diakui oleh Belanda sebagai Arung Pattiru, Palette dan Palakka di Bone and Datu Mario-ri Wawo di Soppeng, Bantaeng dan Bontoala, 1670. Menyatakan penurunan paksa tahta paman kandungnya pada 1672. Dan dimahkotai sebagai Sultan Bone dengan gelar Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din, 3 November 1672.
Andaya mengarahkan perhatiannya kepada Arung Palakka sebagai wakil  dari tema dan kepercayaan dasar yang sampai sekarang menguasai kehidupan  orang Bugis atau Makassar. Dari sanalah dia mencoba mencari akar sebab  Arung Palakka rela bersekutu dengan VOC seraya memerangi saudaranya  sendiri di Kerajaan Gowa yang sedang jaya-jayanya sebagai salah satu kerajaan terkuat dan terbesar di Nusantara abad ke-17.
Jawaban persoalan itu, menuru Andaya, kurang tepat jika dicari dalam  kerangka persaingan ekonomi di wilayah bagian barat laut Nusantara,  antara Kerajaan Gowa  dan VOC, yang memuncak dalam Perang Makassar 1666-1669, sebagaimana  diyakini para sarjana lokal dan mancanegara. Alasan pokok Arung Palakka  bukanlah ekonomis-politis, tetapi pangadereng yang meliputi siri’’  (harga diri atau kehormatan dan rasa malu), pacce (perasaan sakit dan  pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare (kepercayaan bahwa  seseorang dapat memperbaiki atau memperjelek peruntungannya dalam hidup  ini melalui tindakan orang itu sendiri).
Tanpa memahami ketiga ciri kultural yang memegang peranan sangat  penting dalam sejarah Sulawesi Selatan saat itu, akan keruh selamanya  menilai Arung Palakka. Lagi pula Andaya percaya diktum sejarawan JC van Leur bahwa masa lalu tidak ditulis untuk dinilai dengan nilai masa kini, dan  oleh karena itu siri’, pacce, dan sare adalah bahan yang lebih baik dan  adil dipakai untuk menilai dan mengevaluasi kejadian penting di abad  itu, ketimbang standar masa kini. Demikianlah dia memasuki dan memberi  sumbangan penting dalam polemik yang sampai kini masih berkembang di  antara masyarakat Sulawesi Selatan tentang Arung Palakka yang tokoh  sejati, pahlawan tulen bukan pengkhianat dan penindas. 
Berlatar belakang seperti itu, Andaya memulai riwayat tokohnya dengan  membahas sejumlah ciri tertentu budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang  dikaitkannya dengan keadaan historis abad ke-17, terutama perkembangan  Islam dan perdagangan internasional yang memuncak menjadi ketegangan  antara Gowa,  Bone, dan VOC yang hadir di sana sejak tahun 1601. Ketegangan yang dia  perlihatkan dengan rinci menjadi latar kelahiran serta mengisi pikiran  masa kanak dan muda Arung Palakka.
Arung Palakka lahir sekitar tahun 1635 di Desa Lamatta, daerah Mario  Wawo Soppeng, sebagai pewaris takhta Kerajaan Bone. Ketika umurnya  delapan tahun, Bone diperangi Kerajaan Gowa dan berhasil menaklukkannya. Sejak berumur 11 tahun Arung Palakka dan keluarganya dibawa sebagai sandera ke Istana Gowa. Mereka beruntung karena menjadi pelayan Karaeng Pattinggaloang, tokoh penting dan jenius di Kerajaan Gowa. Di bawah asuhannya, Arung Palakka tumbuh menjadi pangeran yang mengesankan dalam olah otak maupun olahraga.
Meski dia terlibat aktif di Istana Gowa  dan berkawan dengan para pemuda Makassar, siri’ dan pacce  mengingatkannya selalu sebagai putra dari seorang Bugis pembuangan dan  bahwa rakyatnya menderita. Awal 1660 dia merasa penderitaan itu semakin  hebat karena harus menyaksikan 10.000 orang tua maupun muda diseret dari  Bone ke Makassar atas perintah Sultan Hassanudin melalui Karaeng  Karunrung dan Regent (Bupati) Bone, Tobala. Mereka dijadikan pekerja  paksa penggali kanal di sepanjang garis pertahanan pantai Makassar agar  ada pemisah antara Kerajaan Goa dan Benteng Pa’nakkukang yang diduduki  VOC.
Lantaran banyak yang sakit dan melarikan diri, seluruh bangsawan Bone  dan Soppeng diperintahkan keluar dari istana, bekerja bersama  rakyatnya. Ini melipatgandakan pelecehan siri’ yang sudah diderita oleh  rakyat Bone dan Soppeng karena junjungannya dipaksa melakukan pekerjaan  kasar yang tidak seharusnya. Pelecehan siri’ itu menjadi derita kolektif  orang Bone dan Soppeng dan menebalkan pacce di antara mereka.  Perlawanan pun dirancang.
Arung Palakka adalah salah satu perancangnya, tetapi perlawanan itu patah oleh kekuatan Gowa  yang besar. Ia terdesak. Akhir tahun 1660 dia meninggalkan Sulawesi  Selatan bersama pengikutnya menuju Batavia dengan bantuan VOC, namun  dalam hatinya terpatri sumpah tidak akan berhenti mencari cara untuk  kembali, buat perhitungan, dan merdekakan negeri Bone.
Setelah menunggu lima tahun, keinginannya terkabul. VOC yang kagum  akan daya tempur pengikut Arung Palakka yang disebut Toangke ("Orang  Angke", diambil dari Kali Angke yang mengalir melewati perkampungan  Bugis di Batavia) saat membantu memadamkan pemberontak Minangkabau,  mengajaknya memerangi Gowa yang dinilai mengganggu kepentingan ekonomi VOC.
Andaya memberi ruang luas buat mengisahkan Perang Makassar. Salah  satu yang menarik adalah ditunjukkannya psikologi Arung Palakka dan  Cornelis Speelman yang menjadi aktor utama pilihan VOC memimpin  ekspedisi ke Kerajaan Gowa.  Keduanya menderita oleh apa yang mereka anggap ketidakadilan sehingga  rela berkorban apa pun demi memulihkan nama. Speelman yakin cuma  kemenangan yang bisa membersihkan namanya dari noda dipecat dengan tidak  hormat karena perdagangan gelapnya sebagai Gubernur VOC di Coromandel  tahun 1665. Sementara bagi Arung Palakka, kemenangan akan membebaskannya  dari beban berat bahwa siri’-nya telah mati.
Hanya dengan memulihkan siri’-nya dan rakyatnya dia dapat  memperlihatkan wajah di Sulawesi Selatan. Dia yakin lebih baik mati  untuk mempertahankan siri’ (mate ri siri’na) ketimbang hidup tanpa siri’  (mate siri’). Mati untuk memulihkan siri’ adalah "mati dengan siraman  gula dan santan" (mate ri gollai, mat ri santannge). Situasi psikologis  itulah yang mendorong keduanya "mentafsir ulang" perintah VOC.
Hal lain yang menarik adalah kajian Andaya mengenai dampak perang itu  atas rakyat Makassar. Melalui cerita rakyat Bugis, Sinrili’na Kappala’  Tallumbatua, dia memperlihatkan Arung Palakka dan Perang Makassar yang  dimaknai rakyat pedesaan Makassar dan Bugis sebagai kemenangan rakyat  dan keunggulan nilai-nilai mereka yang didasarkan pada kebiasaan dan  praktik (ada’) yang sudah sangat tua dalam masyarakat, yaitu siri’,  pacce, dan sare.
Ini sangat berlainan dengan tulisan para sejarawan Barat maupun  sejarawan Indonesia yang melulu bergantung pada sumber Kerajaan Makassar  dan/atau dokumen VOC. Mereka cenderung menggambarkan kepahitan dan  pesimisme di kalangan para raja dan ningrat Makassar sebagai pantulan  perasaan seluruh rakyat Makassar. Jadi, seharusnya masyarakat Sulawesi  Selatan dapat menurunkan kadar emosional dan lebih rasional setiap  mendiskusikan mengenai implikasi Perang Makassar.
Seusai Perang Makassar, Arung Palakka sangat memahami bahwa VOC telah  menjadi kekuatan "di", namun bukan "milik", Sulawesi Selatan. Perbedaan  ini disadari dan dimanipulasi untuk menciptakan dirinya sebagai salah  satu penguasa atasan yang berhasil dalam sejarah Sulawesi Selatan. Jalan  menuju ke sana dirintisnya tidak saja dengan kesadaran dia tidak akan  berbalik melawan VOC yang telah memulihkan hidupnya dan rakyatnya,  tetapi juga dengan selalu membuktikan kesetiaannya. Ia rela meninggalkan  negerinya pada Mei 1678 untuk berperang membantu VOC menyelesaikan  persoalan pengungsi Makassar pimpinan Karaeng Galesong yang membantu perlawanan Trunojoyo di Jawa.
Akhirnya, Andaya menyimpulkan Arung Palakka adalah tokoh yang  diberkati visi dan kepiawaian politik yang kuat sehingga mampu  menggunakan pengaruhnya dengan efektif terhadap negara lokal, bahkan  membuat pemerintah pusat VOC di Batavia bergantung dan rela mengabaikan  suara wakilnya di Fort Rotterdam agar membelenggu Arung Palakka yang  memaksa mereka semua berbagi mimpinya akan Sulawesi Selatan bersatu.
Mimpi Arung Palakka yang dalam 30 tahun kekuasaannya berhasil diwujudkan, tetapi sekaligus membuat banyak pangeran dan pengikutnya yang tak setuju dikarenakan politik kotor yang dilakukannya. Sehingga mengakibatkan  pangeran dan pengikutnya lari dan mencari rumah di tanah seberang  sehingga mewarnai sejarah daerah tujuan itu. Inilah yang menurut Andaya  sebagai warisan Arung Palakka, tidak hanya bagi Sulawesi Selatan tetapi  juga bagi Nusantara, selain pribadinya sebagai pemimpin yang sadar,  paham, teguh memegang serta menjalankan tradisi sebagaimana tersebut  dalam amanat leluhur yang tertulis maupun tak tertulis.
Baca juga :
Baca juga :
Sekilas Tentang Kota Makassar Sulsel Sulawesi Selatan
Tag Search :
sejarah arung palakka dan sultan hasanuddin
sejarah arung palakka melawan sultan hasanuddin
sejarah arung palakka vs sultan hasanuddin
sejarah arung palakka dengan sultan hasanuddin
sejarah hidup arung palakka
sejarah sultan hasanudin dan arung palakka
sejarah arung palakka dan sultan hasanuddin
sejarah arung palakka di bone
sejarah arung palakka di cempalagi
sejarah arung palakka dengan sultan hasanuddin
sejarah arung palakka di sumatra
sejarah arung palakka di batavia
sejarah sultan hasanudin dan arung palakka
sejarah arung palakka.com
sejarah arung palakka di cempalagi
cerita sejarah arung palakka
sejarah arung palakka bone
sejarah arung palakka bugis bone
sejarah arung palakka raja bone
sejarah bugis arung palakka
sejarah perlawanan arung palakka melawan belanda
sejarah raja bugis arung palakka
sejarah arung palakka di batavia
sejarah asal usul arung palakka